1.
Tidak memiliki rahim.
"Hari itu aku bertugas di
Poliklinik Endokrinologi Ginekologi. Seorang perempuan muda dan cantik
mengenakan jilbab trendi ditemani dengan seorang pria (yang kemudian aku
ketahui sebagai suaminya) masuk membawa amplop coklat besar berisi beberapa lembar
hasil pemeriksaan penunjang. Pasangan itu datang berobat karena sudah 2 tahun
menikah, tapi sang istri tak juga kunjung hamil. Semua hasil pemeriksaan
menunjukkan bahwa sang istri menderita suatu kondisi yang dikenal sebagai Mayer
Rokitansky Kuster Hauser syndrome. Secara sederhana, terdapat gangguan pada
proses pembentukan organ reproduksinya sehingga rahim, saluran telur, dan
vagina bagian atasnya tidak terbentuk, namun indung telur terbentuk dengan
sempurna.
Dengan
menunjukkan empati yang dalam, aku mendampingi konsultan yang bertugas saat itu
menjelaskan pada mereka berdua kondisi yang diderita sang istri dengan bahasa
yang mudah dipahami. Menerangkan pada mereka bahwa sang istri tidak mungkin
hamil, karena tidak ada rahim yang bisa menampung bayi mereka. Teknologi bayi
tabung pun tidak dapat membantu, karena tetap harus ada rahim. Surrogacy, atau
meminjam rahim perempuan lain untuk mengandung bayi mereka, tidak dilegalkan di
Indonesia.
Sang
istri menangis tersedu-sedu mendengar penjelasan kami. Sang suami, dengan
tampang terbelalak menyelutuk "Kok bisa gitu sih Dok...Dokter liat kan
bodinya 'bohay' gitu, masak mandul siiihh...??". Gedubrak, apa hubungannya
sih ya, sungutku dalam hati. Dan sang suami masih tak putus harapan untuk
memiliki keturunan dari istrinya itu. "Dokter, kalau misalnya saya punya
istri lagi, dan rahim istri saya yang lain itu yang dipinjam untuk mengandung
anak saya dari istri yang ini, dibolehkan tidak secara hukum?" tanyanya
dengan antusias. Ya ampun, ribet banget sih ya, pikirku sambil melirik ke arah
sang istri yang mukanya makin pucat mendengar si suami berniat mencari istri
lagi..."
2. Rahim jadi sumber kesakitan.
"Tapi tidak semua perempuan berpendapat bahwa memiliki rahim
adalah anugrah. Pagi itu aku mendapat kiriman seorang nyonya berusia 35 tahun
dengan riwayat perdarahan haid yang sangat banyak dan nyeri haid hebat. Sudah
10 tahun menikah, tapi belum pernah berhasil hamil. Pasien itu sudah berulang
kali mendapat transfusi karena perdarahan haidnya yang luar biasa banyak. Setelah
melalui berbagai pemeriksaan, kami menyimpulkan nyonya itu menderita
adenomiosis, suatu kondisi di mana jaringan rahim yang meluruh saat haid berada
pada tempat yang tidak seharusnya, dalam kasus ini pada dinding otot rahim.
Dokter di rumah sakit sebelumnya telah mencoba melakukan operasi untuk
mengangkat adenomiosis itu. Namun ternyata terdapat perlengketan luar biasa
antara rahim dengan organ-organ di dalam panggul lainnya, sehingga beliau tidak
berani melanjutkan operasi karena khawatir mencederai organ lain. Dokter
tersebut kemudian merujuknya ke rumah sakit kami.
Saat
mendiskusikan alternatif terapi untuk kondisi adenomiosisnya, sang nyonya tidak
mengindahkan penjelasanku mengenai alternatif terapi medikamentosa atau
pembedahan konservatif yang hanya mengambil adenomiosisnya saja. Dia bersikeras
supaya rahimnya segera diangkat, semuanya!! Sambil mengernyit aku bertanya,
apakah dia tidak berpikir untuk ingin hamil di kemudian hari. Dengan berapi-api
dia menukas "Dokter, saya sudah tidak tahan menanggung nyeri hebat saat
haid selama bertahun-tahun. Belum lagi darah haid yang banyak sekali, membuat
saya harus berkali-kali ditransfusi. Jangankan berpikir untuk punya anak, untuk
hidup normal dan senang saja saya susah..!! Pokoknya saya mau rahim saya diambil
semua, jadi saya tidak harus menderita terus seumur hidup..!!" Sementara
sang suami membisu di sampingnya tak berani berkomentar.
Setelah
penjelasan panjang lebar mengenai segala risiko dan konsekuensi operasi
pengangkatan rahim, akhirnya sepasang suami istri itu menandatangani surat
persetujuan tindakan pengangkatan rahim total. Operasi berjalan lancar, dan
dalam tiga hari sang nyonya sudah dapat pulang ke rumah. Minggu depannya saat
dia kontrol ke Poliklinik, dia mengucapkan terima kasih berulang-ulang padaku
karena telah mengambil rahim yang menurutnya telah menjadi sumber bencana..."
3. Rahim menjadi ancaman kematian.
"Keberadaan rahim memang memberikan janji akan kehidupan bagi
seorang calon manusia. Namun di sisi lain, keberadaan rahim bisa menjadi
ancaman kematian bagi seorang perempuan. Seperti petang itu saat aku dan tim
jaga IGD sedang melakukan ronde pasien, terdengar teriakan menggelegar dari
ruang akut "Ha Pe Peeeeeee...!!!!".
HPP, hemorragic post partum, atau perdarahan
pasca persalinan adalah pembunuh nomor satu perempuan Indonesia yang meninggal
akibat komplikasi kehamilan dan persalinan. Penyebab tersering perdarahan pasca
persalinan adalah kontraksi rahim yang tidak adekuat (atonia) setelah bayi
lahir, menyebabkan aliran darah ke rahim tidak dapat dihentikan dan dalam
hitungan menit seorang perempuan bisa kehabisan darah.
Teriakan
"HPP" adalah alarm utama bagi kami residen obgin. Tanpa dikomando,
tim jaga langsung berlari ke ruang akut membawa semua peralatan resusitasi dan
obat-obatan yang diperlukan. Pasien yang baru datang itu adalah seorang nyonya
berusia 23 tahun, yang sejam lalu baru melahirkan seorang bayi laki-laki
pertamanya melalui persalinan normal di bidan dekat rumahnya. Proses persalinan
berjalan cukup lama, namun akhirnya lahir juga bayi dengan berat 3800 gram itu.
Setelah plasentanya lahir, bidan yang membantu persalinannya panik karena darah
tidak kunjung berhenti mengalir dari jalan lahirnya.
Residen
jaga akut segera berkicau melaporkan kondisi pasien itu, "kesadaran somnolen,
airway bebas, nafas 16x per menit, nadi 130x per menit lemah, tekanan darah
70/40, kontraksi uterus (rahim) jelek, perdarahan aktif merembes...".
Serentak perawat dan bidan jaga memasang sungkup oksigen dan 2 akses vena untuk
resusitasi cairan, simultan dengan mengambil sampel darah untuk pemeriksaan
laboratorium dan permintaan komponen darah ke PMI. "Syok hipovolemik
karena HPP" seruku, "eksplorasi kemungkinan penyebab perdarahan lain
selain atonia dan siapkan kamar operasi..!!". Sementara kolegaku yang lain
sibuk melakukan kompresi bimanual untuk menekan rahim agar berkontraksi dan
memasukkan obat-obatan yang diharapkan mampu memperbaiki kontraksi rahim.
Beberapa
menit kemudian kami menyimpulkan bahwa memang penyebab HPP perempuan tersebut
adalah atonia, dan tidak terdapat perbaikan kontraksi setelah dilakukan
kompresi maupun pemberian obat-obatan. Tidak ada jalan lain, dengan kondisi
hemodinamik yang tidak stabil dan perdarahan aktif terus mengalir, kami harus
melangkah ke kamar operasi. Risiko operasi sangat tinggi, pasien bisa meninggal
di atas meja operasi dengan kondisi buruk seperti saat ini. Namun bila tidak
dilakukan, maka hasil akhirnya sudah bisa ditebak.
Didampingi kolegaku dari Anestesi, kami
berbicara dengan suami dan beberapa anggota keluarga dekat pasien itu. Kami
jelaskan kondisinya saat ini sangat kritis, dan satu-satunya cara
menyelamatkannya adalah menghentikan perdarahan yang terjadi. Cara optimal
menghentikan perdarahan saat ini adalah melakukan operasi untuk mengangkat
rahimnya yang menjadi sumber perdarahan dan mengikat seluruh pembuluh darah
yang menuju rahim agar darah tidak bocor keluar terus-menerus.
Ruangan
tempat kami berbicara seketika hening setelah penjelasanku berakhir. Sang suami
menatapku dengan tatapan kosong. Anggota keluarga yang lain mulai terisak-isak.
Sementara juniorku di luar ruangan sudah tak sabar menanti keputusan, apakah
sang suami mengijinkan atau tidak. Kami tidak bisa memulai operasi tanpa ijin
sang suami, padahal setiap detik berlalu dengan sekian tetes darah terbuang
percuma.
Jarum jam seakan bergerak sangat lambat
sampai akhirnya terbuka juga mulut pria malang itu, "lakukan yang terbaik
Dokter...Saya mohon, selamatkan istri saya...Jangan biarkan bayi kami
kehilangan ibunya..." ujarnya terbata dengan mata berkaca-kaca. Aku
tertegun sejenak, "insha Allah pak, doakan...Hanya Allah yang berhak
menentukan nasib hamba-Nya."
Setelah itu waktu seakan berlari. Kami
berhasil mengontrol perdarahan setelah mengangkat rahim dan mengikat beberapa
pembuluh darah. Komponen darah dari PMI datang tepat pada waktunya untuk
mengganti darah yang sudah keluar sebelumnya. Perempuan itu akhirnya stabil
dalam perawatan di ICU pasca operasi. Aku teringat kata-kata bijak salah
seorang guruku "lebih baik hidup tanpa uterus, daripada mati membawa
uterus...".
4. Kehilangan rahim karena
aborsi.
"Namun kisah kehilangan
rahim perempuan yang satu ini menurutku adalah yang paling tragis. Sore itu
kami baru saja "operan" jaga, perpindahan dari tim jaga satu ke tim
jaga lainnya. Pasien saat itu membanjir bagai air bah, sehingga suasana IGD tak
ubahnya pasar malam. Sepasang suami istri setengah baya tampak keluar dari
pintu lift yang terbuka diikuti dengan seorang petugas yang mendorong brankar
dengan seorang gadis belia tergolek lemah di atasnya.
Karena
tampak begitu lemah, kami segera memprioritaskan gadis itu untuk ditangani
terlebih dahulu. Setelah melakukan pemeriksaan awal dan melakukan stabilisasi,
kami menyimpulkan bahwa gadis itu menderita infeksi berat yang menyebabkan
respon sistemik buruk dan terdapat ancaman kegagalan kardiovaskular karenanya,
syok sepsis istilah kami. Untuk memastikan dari mana sumber infeksinya, kami
menggali informasi lebih dalam lagi kondisi pasien itu. Gadis itu baru berusia
15 tahun, duduk di kelas 3 SMP. Sekitar 2 minggu yang lalu, kedua orang tuanya
memergoki bahwa anak keduanya itu ternyata hamil akibat hubungan
"kebablasan" dengan pacarnya. Setelah ketahuan hamil, si pacar
menghilang tak ketahuan rimbanya. Kedua orang tuanya panik, terlebih si anak kemudian
mogok sekolah karena malu dan khawatir kondisinya diketahui teman-temannya.
Entah
dengan pertimbangan apa dan informasi dari siapa, si ayah akhirnya memutuskan
untuk membawanya ke sebuah klinik di daerah utara Jakarta untuk mengakhiri
kehamilan anaknya. Tidak jelas prosedur macam apa yang dilakukan di sana untuk
mengeluarkan calon manusia tersebut. Si ayah juga mengaku tidak bertemu
langsung dengan "dokter" yang menggugurkan kandungan anaknya
tersebut. Singkat cerita, kami mencurigai sumber infeksi gadis ini berasal dari
rahimnya, besar kemungkinan telah dilakukan aborsi tidak aman dengan prosedur
tidak steril. Karena kondisi hemodinamiknya yang tidak stabil, akhirnya pasien
itu dikirim ke ICU untuk perawatan dengan observasi ketat dan antibiotika generasi
terbaru.
Dalam
evaluasi 12 jam kemudian sampai pagi harinya, kami mendapatkan bahwa respon
tubuh gadis itu terhadap terapi yang diberikan tidak begitu baik. Berbagai
parameter infeksi semakin memburuk, pertanda bahwa sumber infeksi tidak juga
terkendali. Kami berdiskusi dengan teman sejawat Bedah Digestif, dan sama-sama
sepakat bahwa mungkin terjadi cedera organ lain seperti usus akibat tindakan
aborsi tak aman tersebut. Akhirnya kami memutuskan untuk melakukan tindakan
operasi, membuka perut gadis itu dan melihat apa yang terjadi di dalam.
Konsekuensinya, semua organ yang menyebabkan infeksi harus diangkat dan dibuang
karena ternyata antibiotik tidak berdaya mengontrol infeksi yang terjadi. Bila
tidak dilakukan kontrol sumber infeksi yang adekuat, maka kegagalan semua organ
yang vital dalam menunjang kehidupan menjadi taruhannya. Di sisi lain,
melakukan operasi besar dalam kondisi yang buruk seperti ini adalah tindakan
yang sangat berisiko.
Saat
menjelaskan kondisi gadis tersebut kepada kedua orang tuanya, si Ibu menangis
terisak-isak dan si Ayah menunduk dengan raut yang menunjukkan penyesalan yang
sangat dalam. Tindakan melakukan pengguguran kehamilan saja merupakan tindakan
melanggar hukum di Indonesia, apalagi dalam kasus ini terjadi komplikasi
mengancam nyawa. Bila memang terjadi cedera usus, kami akan harus memotong dan
membuang bagian usus tersebut. Bila ternyata sumber infeksi adalah si rahim,
maka kami harus membuang rahimnya. Pilihan yang sulit, terlebih melakukannya
pada seorang anak berusia 15 tahun yang bahkan belum mengerti apa yang terjadi
dengan dirinya.
Akhirnya
setelah diskusi yang panjang, kedua orang tuanya menyetujui rencana kami.
Dengan persiapan ekstra, kami melakukan operasi segera sebelum kondisi gadis
itu semakin memburuk. Benar saja, saat perutnya dibuka, kondisi rahimnya sangat
mengenaskan. Rahimnya membesar seperti hamil 16 minggu dengan warna kehitaman
dan mengeluarkan bau yang membuat perut mual. Untungnya seluruh organ lainnya
utuh, tak terdapat cedera organ. Setelah berkonsultasi sana-sini, kami
memutuskan untuk mengangkat rahim gadis itu dengan pertimbangan menyelamatkan
nyawanya. Itu adalah rekor untukku dalam hal usia termuda yang kuangkat
rahimnya.
Gadis itu kemudian membaik dalam perawatan
selanjutnya dan tampaknya belum juga paham konsekuensinya ketika dijelaskan
bahwa dirinya sudah tak memiliki rahim lagi. Sebuah harga yang sangat mahal
untuk sebuah perilaku tak bertanggung jawab tanpa pikir panjang seperti itu.
Namun demikian, dia masih beruntung tidak menjadi bagian dari 50.000 orang yang
mati setiap tahunnya akibat "unsafe abortion" di seluruh dunia."